TOPIK HANGAT

9 Nov 2011

Pemerintah Salah Kaprah

Sebut Dinasti dalam Sistem Demokrasi

BANDARLAMPUNG – Demokrasi di Indonesia sekarang ini dinilai mengalami kemunduran. Pemicunya adalah penggunaan istilah dinasti politik yang kini tengah dipertimbangkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pendapat ini dilontarkan Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Universitas Lampung (Unila) Syafarudin, M.A. kemarin. Menurut pria berkacamata ini, dinasti politik merupakan istilah yang akrab dipakai dalam sistem monarki atau kerajaan. Kondisi ini tentu bertentangan dengan negara Indonesia yang mengedepankan sistem demokrasi.
’’Berdasarkan kajian kami yang didukung dengan pendapat banyak rekan saya, Kemendagri telah keliru menggunakan istilah dinasti politik di tengah sistem demokrasi kita," kata Syafarudin.
Kekeliruan ini menggiring pemahaman masyarakat terkait penentu sistem demokrasi. ’’Dengan istilah itu, seolah-olah penentu sistem demokrasi adalah keluarga seperti pada sistem monarki. Padahal hakim tertinggi dalam sistem demokrasi adalah rakyat,” tegasnya.
Dijelaskan, dalam sistem monarki, dinasti politik bermakna kekuatan politik yang berbasis keluarga. Dalam keluarga, suksesi seorang pemimpin terjadi tanpa perlu melibatkan rakyatnya. Hal ini berbeda jauh dengan sistem politik demokrasi, di mana rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. ’’Maka penyebutan aktor dan kekuatan politik dikenal dengan istilah kandidat atau partai politik sebagai representasi rakyat dari
berbagai kalangan,” paparnya.
Dengan demikian, lanjut pria murah senyum ini, penyebutan istilah dinasti politik dalam sistem demokrasi menjadi kurang tepat dan dapat menyebabkan seolah-olah demokrasi lokal sudah berbasiskan dinasti politik. Kondisi ini secara tidak langsung membuat indeks demokrasi Lampung semakin terpuruk. Sebagai gambaran pada 2007, indeks demokrasi Lampung menduduki peringkat 2 nasional. Namun, pada 2009, indeks demokrasi Lampung menurun menjadi nomor 18 secara nasional.
’’Penyebab penurunan angka indeks demokrasi di Lampung disebabkan banyak hal. Mulai dari belum optimalnya pelaksanaan kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan peran kelembagaan demokrasi yang belum optimal,” tuturnya.
Jika istilah dinasti politik yang dikutip dari Dirjen Otda Kemendagri Prof. Johermansyah Johan ini terus dibiarkan, Syafarudin mengaku khawatir hal ini akan semakin melemahkan penilaian perkembangan demokrasi di Lampung pada tahun ini. ’’Sekarang istilah Prof. Johermansyah Johan banyak sekali mewarnai pemberitaan media di Lampung. Ini malah menjadi anasir yang melemahkan sistem demokrasi kita,” katanya.
Penjelasan itu dikuatkan dengan bukti bahwa Provinsi Lampung masih menerapkan sistem demokrasi, bukan sistem monarki. Ini terlihat dari kekuatan politik yang masih dikendalikan oleh partai politik dan kelompok kepentingan yang wajar ada di dalam sistem demokrasi.
’’Provinsi Lampung ini kan tidak dikendalikan oleh satu keluarga atau koalisi antarkeluarga sebagaimana halnya sistem monarki di negara-negara bagian Malaysia, misalnya,” ungkap Syafarudin.
Karena itu, dirinya berharap seluruh elemen prodemokrasi dapat melakukan upaya memperkuat pelaksanaan kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan kelembagaan demokrasi. ’’Ini harus dilakukan bila ingin menyehatkan sistem demokrasi Lampung ke depan,” ucapnya.
Terkait dengan wacana menyongsong Pemilihan Gubernur Lampung 2013, Syafarudin menilai upaya yang harus dilakukan tidak hanya sebatas mendorong dan memunculkan kandidat dan mengenalkannya ke masyarakat. ’’Harus diingat juga bahwa jaminan hak-hak pemilih, penguatan pengawasan, penyelenggaraan yang baik, partisipasi publik, kontrol media, serta menjaga persatuan dan kesatuan harus pula disehatkan,” ungkapnya. (fik/c2/een)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar