TOPIK HANGAT

21 Nov 2011

Jadilah Migran Tangguh, Bukan Benalu


Komering Post - AKHIR-AKHIR ini Belanda menunjukkan sikap kurang ramah terhadap migran asing, demikian Dian Paramita, sosiolog asal Yogyakarta yang kini menjadi pengamat sosial di negeri kincir angin ini, sebagaimana dilansir Radio Nederland, Senin (21/11/2011). Ia sering melakukan penelitian untuk advis kepada pemerintah daerah di Belanda yang menyorot masalah migran, terutama migran perempuan.

Bagaimana kebijakan yang tepat untuk mengintegrasikan para migran di Belanda? Menurut Dian Paramita, ada dua tahap dalam proses integrasi. Pertama-tama tahap adaptasi, tahap awal tinggal di Belanda. Dalam tahap ini masalah yang paling besar adalah bahasa Belanda. Karena tanpa bahasa Belanda orang akan kesulitan berperan serta dalam masyarakat Belanda.

Banyak migran dari Indonesia masih harus belajar bahasa Belanda, padahal mereka sudah lebih dari 25 tahun tinggal di negara ini. Migran Indonesia banyak yang mengalami kesulitan menguasai bahasa Belanda. Karena itu bahasa diwajibkan dalam program inburgering atau integrasi.

Selain masalah bahasa Belanda, masalah benturan budaya juga menjadi ganjalan. Ada banyak sisi budaya Belanda yang harus dipelajari. "Misalnya bagaimana bergaul di lingkungan kerja, bagaimana kita menyuarakan pendapat misalnya pada suami Belanda. Itupun kita harus belajar," ujar Dian.

Norma Belanda berbeda, apalagi bagi orang Jawa yang terutama menggunakan mimik, bahasa tubuh. Orang Belanda terkenal langsung mengatakan pendapatnya - tembak langsung - sementara orang Indonesia justru terbiasa mencari jurus tidak langsung.

"Ini menyebabkan konflik antara perempuan Indonesia dengan suami Belanda mereka." Demikian Dian Paramita yang menikah dengan orang Belanda.

Faktor-faktor lain misalnya makanan dan perubahan cuaca, ikut menentukan kesuksesan tahap adaptasi dalam masyarakat. Para migran harus terus beradaptasi sampai bisa hidup mandiri, kemudian tahap berikutnya adalah aktualisasi diri, bagaimana mencari pekerjaan.

Aktualisasi diri


Dian Paramita kemudian menceritakan pengalamannya mencari kerja. Ia sudah memiliki pengalaman kerja yang bagus di Indonesia. Walaupun ia melanjutkan kuliah di Belanda, tapi masih saja ada hambatan dan tantangan. Misalnya ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Dulu di Indonesia ia mengajar di universitas. "Namun di sini bahasa Belanda saya tidak cukup untuk memberi kuliah di universitas. Peluang lain apa yang bisa saya lakukan, adalah mencari peluang sebagai peneliti di sebuah lembaga di Belanda timur. Topiknya tentang sekolah menengah dan perempuan migran di Belanda. Lembaga ini ditutup, karena subsidi dihentikan. Saya keluar, tapi jaringan klien meminta saya melanjutkan penelitian sendiri."

Dian menjadi peneliti freelance di Belanda, dan mendapat permintaan merumuskan saran dari salah satu instansi pemerintah daerah tentang perempuan migran, persoalan apa yang mereka hadapi, bagaimana mereka bisa terjun ke pasar kerja.

Bukan saja migran asal Indonesia, di Belanda ada begitu banyak migran yang berasal dari ratusan negara. Di kota tempat tinggal Dian ada lebih dari 140 kewarganegaraan. Dari China, sampai Afrika Selatan.

Walaupun tiap migran punya kendala berbeda-beda, ada satu kesamaan, penguasaan bahasa Belanda dan pengalaman bekerja di Belanda. Orang Eropa yang bermigrasi ke Belanda (Jerman dan Belgia), jelas tidak memiliki masalah sama seperti perempuan Asia atau Afrika.
Kebanyakan dari migran non Barat pendidikannya menengah ke bawah. Mereka harus mengikuti pendidikan lagi di Belanda. Kalau tidak mereka menganggur, atau melakukan pekerjaan yang tanpa menggunakan otak. Misalnya membersihkan rumah atau kantor.

Menjual Indonesia


Dian juga memberikan workshop. Baru saja ia pulang dari sekolah kejuruan di mana ia memberikan penyuluhan tentang Indonesia. "Menjual Indonesia," selorohnya. Ia memberi penyuluhan tentang perempuan Indonesia supaya orang Belanda mendapat gambaran yang tepat dari perempuan migran.
Mereka bukannya menjadi benalu, seperti yang dikatakan oleh berbagai pihak di Belanda.

Publik Belanda tidak memiliki gambaran langsung dan positif ihwal siapa migran itu sebenarnya. Dengan kegiatan workshop, ke sekolah menengah dan sekolah dasar, Dian Paramita menceritakan siapa dirinya, mengapa ia datang ke Belanda, aktivitas apa saja yang ia lakukan di Belanda, latar belakangnya di Indonesia.

Indonesia itu seperti apa, keindahannya. Ia mempertunjukkan film-film dan gambar Indonesia.
Tanggapan para peserta workshop ini positif. Mereka merasa takjub, dan sadar: bahwa para migran tidak seperti yang diberitakan media atau orang di sekitarnya. Ada banyak sisi positifnya.  Menurut  Dian, ia satu-satunya migran Indonesia yang melakukan workshop ini di Belanda.

Dian menyarankan, orang Indonesia yang mau ke Belanda, harus menghapus ide bahwa Belanda itu surga, bisa dapat uang banyak dan bahwa hidup di Eropa itu murah. Kalau dibandingkan dengan Indonesia, maka hidup di Belanda tidaklah mudah. Para migran harus siap bekerja keras. Siap mental kalau didiskriminasi.

Banyak di antara orang Indonesia di Belanda memiliki pendidikan tinggi. Ada dokter gigi, sarjana hukum, atau sarjana. Tapi mereka toh kesulitan mencari pekerjaan. Dia kenal dokter gigi, yang menjadi pekerja pabrik. Sarjana hukum menjadi tukang bersih-bersih. Akuntan yang sekarang bekerja di pabrik pembuat pemanas ruangan.

Diskriminasi


Masalah diskriminasi juga disinggung. Seorang ibu di Jakarta, menanyakan apakah orang Indonesia yang bekerja di Belanda juga didiskriminasi. Dian menegaskan, "Rata-rata orang Belanda, punya ide, orang yang berkulit coklat dan rambut hitam punya kemampuan yang lebih rendah. Kita harus menunjukkan bisa bekerja lebih keras dari orang Belanda."
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar